BlogYYY
Minggu, 09 Januari 2011,Minggu, Januari 09, 2011
SEJARAH TERAPI PERSON-CENTERED
A.
Psikologi telah lama didominasi oleh pendekatan empiris tentang studi tingkah laku individu. Banyak ahli psikologi Amerika yang menunjukan kepercayaan pada definisi-definisi operasional dan hipotesis-hipotesis yang biasa diuji serta memandang usaha memperoleh data empiris sebagai satu-satunya pendekatan yang sahih guna memperoleh informasi tentang tingkah laku manusia.
Di masa lalu tidak terdapat bukti adanya minat yang serius terhadap aspek-aspek filosofi dari konseling dan psikoterapi. Pendekatan eksistensial-humanistik,di lain pihak, menekankan pada filosofi tentang apa artinya menjadi manusia yang utuh. Perkembangan aliran-aliran behaviorisme dan psikoanalistik ternyata merisaukan banyak psikolog di Negara itu. Mereka melihat, bahwa kedua aliran tersebut memandang manusia sebagai makhluk yang sudah ditentukan nasibnya,yaitu oleh stimulus (behaviorisme) atau oleh alam ketidaksadaran (psikoanalisis). Kemudian lahirlah aliran psikologi humanistik yang memulihkan keseimbangan dalam psikologi dengan berfokus pada kebutuhan-kebutuhan manusia dan pengalaman manusia. Karena itulah meskipun humanistik tidak sedasyat psikoanalisa dan behavioristik dalam peranannya,namun humanistik sering disebut “kekuatan ketiga” dalam psikologi. Salah satu metode terapi yang terkenal adalah metode terapi yang berpusat pada klien (Client Center) yang diplopori oleh Carl Roger. Carl Roger sadalah seseorang yang dibesarkan dengan latar belakang keluarga seorang penganut Kristiani fundamentalis yang taat dan ketat. Selama masa perkembangannya,dari anak-anak sampai masa dewasanya Rogers sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama dari orang tuanya. Bahkan di tahun keduanya sebagai mahasiswa,dia memutuskan untuk menjadi seorang pendeta.
Pada tahun 1920,Carl Rogers yang pada tahun tersebut berusia 20 tahun,mengunjungi Cina sebagai delegasi untuk konferensimahasiswa Kristen Internasional. Dalam kunjungannya selama 6 bulan tersebut,dia mengalami suatu pengalaman menarik. Dia menemukan suatu bagian dirinya yang penting dan baru. Untuk pertama kalinya,dia terbuka kepada orang-orang dari berbagai macam latar belakang,baik intelektual maupun kultural,yang ide-ide dan penampilan serta bahasa mereka asing baginya. Ketika berinteraksi dengan mereka,Rogers mulai terpengaruh oleh ide-ide mereka. Kepercayaan-kepercayaan fundamentalisnya yang kuat, ditembus, dilemahkan,dan akhirnya dibuang.
Rogers mencatat pikiran-pikiran dan perasaannya pada waktu itu dalam suatu jurnal. Akibat dari pengalamannya di Cina adalah putusnya ikatan agama dan intelektual dengan orangtuanya dan kesadaran bahwa dia “dapat berfikir menurut pikiran-pikiran saya sendiri,sampai kepada kesimpulan-kesimpulan saya sendiri,dan menjadi saksi terhadap kepercayaan saya sendiri”. Kebebasan yang diperolehnya ini,menyebabkan dia sadar bahwa pada akhirnya seseorang akan bersandar pada pengalamannya sendiri.
Pendekatan Rogers terhadap terapi dan model kepribadian sehat yang dihasilkan,memberikan suatu gambaran tentang kodrat manusia yang disanjung-sanjung dan optimis. Tema pokoknya adalah seseorang harus bersandar pada pengalamanya sendiri tentang dunia karena hanya itulah kenyataan yang diketahui oleh seorang individu.
Carl R. Rogers mengembangkan terapi client-centered sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya, pendekatan client-centered adalah cabang khusus dari terapi humanistik yang menggaris bawahi tindakan yang akan dilakukan oleh klien berikut dunia subjektif dan fenomenalnya.
Perkembangan pendekatan client-centered disertai peralihan dari penekanan pada teknik terapi kepada penekanan pada kepribadian, keyakinan dan sikap ahli terapi, serta pada hubungan terapeutik. Hart (1970) membagi perkembangan teori Rogers kedalam tiga periode :
Ø Periode 1 (1940-1950) : Psikoterapi non-direktif
Pendekatan ini menekankan pada penciptaan iklim permisif dan non-interventif. Pada periode ini, ahli terapi secara nyata menghindarkan diri dari interaksi dengan klien. Ahli terapi berfungsi sebagai penjernih, tetapi tidak menampilkan kepribadiannya sendiri. Saat ini, terapi client-centered mengandalkan dorongan pertumbuhan bawaan klien, dimana klien akan mencapai pemahaman atas dirinya dan situasi kehidupannya.
Ø Periode 2 (1950-1957) : Psikoterapi reflektif
Pada periode ini, terapi beralih dari penekanan pada kognitif kepada klarifikasi, yang mengarah pada pemahaman. Ahli terapi terutama merefleksikan perasan-perasaan klien dan menghindari ancaman dalam hubungan dengan kliennya. Peran ahli terapi dirumuskan ulang, penekanan diperbesar pada tanggapan ahli terapi pada perasaan pasien. Ahli terapi merefleksikan perasaan yang semata-mata menjelaskan komentar-komentar klien. Untuk menunjang reorganisasi konsep diri klien, ahli terapi bertugas menghilangkan sumber ancaman dari hubungan terapeutik dan berfungsi sebagai cermin sehingga klien dapat memahami dunianya sendiri dengan lebih baik, dan mampu mengembangkan keselarasan antara konsep dirinya saat ini dengan konsep diri yang ideal. Sekalipun demikian, ahli terapi sebagai pribadi tetap tidak ditampakkan.
Ø Periode 3 (1957-1970) : Psikoterapi eksperensial
Periode ini ditandai oleh sikap ahli terapi yang lebih luas dalam mengungkapkan sikap-sikap dasarnya. Terapi dipusatkan pada apa yang dialami oleh klien dan apa yang dialami oleh ahli terapi. Sebagai prasyarat agar terapi bisa efektif, ahli terapi dituntut mempunyai sikap keselarasan, pandangan dan penerimaan positif, dan pengertian empatik. Kemudian fokus dialihkan dari refleksi ahli terapi atas perasaan-perasaan klien pada tindakan ahli terapi tersebut.
Dalam 30 tahun terakhir terapi client centered telah bergeser ke arah lebih banyak membawa kepribadian terapis kedalam proses terapeutik. Pada periode awal, terapis non direktif secara nyata menghindarkan diri dari interaksi dengan klien. Terapis berfungsi sebagai penjernih, tetapi tidak menampilkan kepribadiannya sendiri. Pada periode ini, teknik seperti bertanya,menggali, mengevaluasi, dan menafsirkan serta prosedur-prosedur seperti sejarah kasus, tes psikologi dan diagnosis tidak menjadi bagian dari proses terapeutik karena semua berlandaskan pedoman eksternal; terapi client-centered mengandalkan dorongan pertumbuhan bawaan klien.
Kemudian, terapi beralih dari penekanan kognitif kepada klarifikasi, yang mengarah kepada pemahaman. Ciri periode psikoterapi reflektif yang menandai perubahan dalam praktek terapi yang aktual adalah penekanan pada pemberian respons secara peka terhadap unsure afektif alih-alih pada unsure semantic dari ungkapan klien. Peran terapis dirumuskan ulang, penekanan diperbesar pada ketanggapan terapis terhadap perasaan-perasaan klien. Terapis merefleksikan perasaan yang semata-matamenjelaskan komentar-komentar klien. Untuk menunjang re-organisasi konsep diri klien, terapis menjalankan tugas dasar menghilangkan sumber-sumber ancaman dari hubungan terapeutik dan berfungsi sebagai cermin sehingga klien bisa memahami dunianya sendiri dengan lebih baik. Terapis sebagai pribadi tetap bersembunyi dalam rumusan ini.
Pada periode berikutnya, terapi eksperiental menitikberatkan kondisi-kondisi tertentu yang “diperlukan dan memadai” bagi kelangsungan perubahan kperibadian. Periode ini memperkenalkan unsure-unsur penting dari sikap-sikap terapis, yakni keselarasan, pandangan dan penerimaan positif, dan pengertian yang empatik sebagai prasyarat bagi terapi yang efektif. Kemudian, focus dialihkan dari refleksi terapis atas perasaan-perasaan klien kpeada tindakan terapis mengungkapkan perasaan-perasaan langsungnya sendiri dalam hubungan dengan klien. Rumusan yang mutakhir memberikan tempat pada lingkup yang lebih luas dan keluwesan yang lebih besar dari tingkah laku terapis, mencakup pengungkapan-pengungkapan atau pendapat-pendapat, perasaan-perasaan dan sebagainya yang pada periode sebelumnya tidak diharapkan muncul.
Fokus pada pengalaman langsung dari terapis mengarahkan terapis kepada pengungkapan perasaan-perasaannya sendiri terhadap klien jika dianggap pantas dan lebih dari periode-periode sebelumnya, mengizinkan terapis untuk membawa kepribadiannya sendiri. Rumusan awal dari pandangan client-centered menuntut terapis agar mampu menahan diri dari keinginan memasukkan nilai-nilai dan penyimpangan-penyimpangannya sendiri kedalam hubungan terapeutik. Terapis menjauhi prosedur-prosedur yang umum digunakan seperti penetapan tujuan-tujuan, pemberian saran, penafsiran tingkah laku, dan pemilihan topic-topik yang akan dieksplorasi. Bagaimanapun, rumusan yang mutakhir mengarahkan dirinya sendiri pada pengurangan larangan-larangan tersebut diatas dan membenarkan terapis untuk lebih bebas dan aktif berpartisipasi dalam hubungan dengan klien dalam rangka mencipakan suatu atmosfer dimana klien merasa sepenuhnya diterima, apapun teknik atau gaya yang digunakan oleh terapis.